Pasar Tanah Abang merupakan pusat perdagangan tekstil terbesar se-Asia Tenggara. Perputaran uang di Pasar Tanah Abang yang memang sangat besar tidak dapat dipandang sebelah mata oleh pemerintah atau pun non-pemerintah.
Hal ini, mengundang para pedagang dari berbagai pelosok Nusantara yang ingin mengadu nasib di pasar tersebut datang dan mulai berjualan secara menetap. Permasalahan muncul karena sebagian para pedagang yang tidak mampu membayar kios memilih untuk berjualan di pinggir jalan, sehingga menyebabkan para pedagang kaki lima (PKL) dan berdampak pada masalah lain, seperti kemacetan dan premanisme di Pasar Tanah Abang.
Para pedagang yang terbiasa berjualan di pinggir jalan sejak pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, sehingga membentuk budaya atau kebiasaan bagi para pedagang dan pembeli. Dalam hal ini, kemudahan transaksi dengan pembeli menjadi alasan para PKL untuk berjualan di pinggir jalan dan keadaan ini kemudian dilihat oleh aparatur negara atau non-aparatur negara untuk mendapatkan keuntungan secara finansial, sehingga terjadi lobby-lobby politik untuk mempertahankan keberadaan PKL.
Keberadaan PKL ini berimplikasi kepada kemacetan dan premanisme. Beberapa permasalahan di Pasar Tanah Abang seperti PKL, kemacetan lalu lintas, dan relokasi pedagang yang masih ada di bahu jalan ternyata di politisasi oleh aktor yang ada di sekitar kompleks Pasar Tanah Abang. Hal ini terjadi karena ketiga masalah tersebut memberikan keuntungan bagi aktor-aktor terkait disekitar masalah.
Aktor yang terkait dengan permasalahan PKL di Pasar Tanah Abang adalah para aktor yang memiliki hubungan dengan para PKL secara langsung. Dalam hal ini, para pemegang otoritas pasar dan preman yang telah lama menguasai. Kedua aktor tersebut memberikan perlindungan bagi para PKL, sehingga para PKL merasa leluasa untuk berdagang di pinggir jalan dan imbalan dari proteksi yang telah diberikan oleh otoritas pasar dan para premen adalah berupa pemberian uang dalam bentuk retribusi (legal) ataupun pungli (preman).
Oleh karena itu, dalam permasalahan PKL di Pasar Tanah Abang terdapat peran dari aktor untuk tetap mempertahankan para PKL untuk kepentingan dan keuntungan secara personal, sehingga proses pemindahan (relokasi) PKL dari masa pemerintahan Ali Sadikin hingga pemerintahan Foke tidak dapat terealisasi (sebagai wacana saja) dan di saat pemerintahan Joko Widodo baru bisa terealisasi dengan baik walaupun tidak menyeluruh.
Hal ini, mengundang para pedagang dari berbagai pelosok Nusantara yang ingin mengadu nasib di pasar tersebut datang dan mulai berjualan secara menetap. Permasalahan muncul karena sebagian para pedagang yang tidak mampu membayar kios memilih untuk berjualan di pinggir jalan, sehingga menyebabkan para pedagang kaki lima (PKL) dan berdampak pada masalah lain, seperti kemacetan dan premanisme di Pasar Tanah Abang.
Para pedagang yang terbiasa berjualan di pinggir jalan sejak pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, sehingga membentuk budaya atau kebiasaan bagi para pedagang dan pembeli. Dalam hal ini, kemudahan transaksi dengan pembeli menjadi alasan para PKL untuk berjualan di pinggir jalan dan keadaan ini kemudian dilihat oleh aparatur negara atau non-aparatur negara untuk mendapatkan keuntungan secara finansial, sehingga terjadi lobby-lobby politik untuk mempertahankan keberadaan PKL.
Keberadaan PKL ini berimplikasi kepada kemacetan dan premanisme. Beberapa permasalahan di Pasar Tanah Abang seperti PKL, kemacetan lalu lintas, dan relokasi pedagang yang masih ada di bahu jalan ternyata di politisasi oleh aktor yang ada di sekitar kompleks Pasar Tanah Abang. Hal ini terjadi karena ketiga masalah tersebut memberikan keuntungan bagi aktor-aktor terkait disekitar masalah.
Aktor yang terkait dengan permasalahan PKL di Pasar Tanah Abang adalah para aktor yang memiliki hubungan dengan para PKL secara langsung. Dalam hal ini, para pemegang otoritas pasar dan preman yang telah lama menguasai. Kedua aktor tersebut memberikan perlindungan bagi para PKL, sehingga para PKL merasa leluasa untuk berdagang di pinggir jalan dan imbalan dari proteksi yang telah diberikan oleh otoritas pasar dan para premen adalah berupa pemberian uang dalam bentuk retribusi (legal) ataupun pungli (preman).
Oleh karena itu, dalam permasalahan PKL di Pasar Tanah Abang terdapat peran dari aktor untuk tetap mempertahankan para PKL untuk kepentingan dan keuntungan secara personal, sehingga proses pemindahan (relokasi) PKL dari masa pemerintahan Ali Sadikin hingga pemerintahan Foke tidak dapat terealisasi (sebagai wacana saja) dan di saat pemerintahan Joko Widodo baru bisa terealisasi dengan baik walaupun tidak menyeluruh.
0 comments:
Post a Comment