latar belakang pengendalian tembakau di Indonesia ternyata dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu: faktor internal (desakan dari dalam) dan faktor eksternal (desakan dari luar) kepada pemerintah Indonesia agar lebih tanggap terhadap epidemi tembakau.
Faktor eksternalnya antara lain adalah desakan dari rezim kesehatan dunia yang dimotori olehWHO-FCTC dengan berbagai programnya yang menuntut agar tiap negara anggota WHO menjadikan FCTC sebagai hukum nasionalnya masing-masing.
Dengan keterlibatan 172 negara dalam konvensi yang bernama FCTC ini jelaslah merupakan kekuatan politik yang amat besar. Mudah saja untuk menjadikan FCTC sebagai hukum internasional karena asalkan sudah ada 40 negara anggota WHO meratifikasi perjanjian FCTC, maka FCTC resmi menjadi hukum internasional. FCTC sendiri resmi menjadi hukum internasional atau perjanjian internasional sejak tahun 2005.
Posisi Indonesia hingga tahun 2013 adalah belum sebagai negara peserta (states parties) dari perjanjian FCTC karena pemerintah belum menandatangani dan meratifikasi perjanjian. Penulis mensinyalir, pemerintah mengalami dilema dalam mengambil keputusan.
Jika pemerintah memutuskan turut serta dalam perjanjian tersebut, besar kemungkinan akan terjadi demonstrasi di banyak wilayah di Indonesia, terutama oleh mereka menggantungkan hidupnya pada komoditas tembakau. Jika pemerintah memutuskan untuk tidak turut serta dalam perjanjian tersebut, maka besar kemungkinan akan mendapatkan kecaman dari negara-negara lain dan dari orang-orang Indonesia yang pro terhadap perjanjian FCTC.
Namun menurut penulis, sikap politik yang diambil pemerintah Indonesia sudah sangat bijaksana. Tidak menandatangai dan meratifikasi FCTC, kemudian mengeluarkan RPP pengendalian tembakau, lalu mengesahkan PP pengendalian tembakau, justru mencerminkan kemandirian dan ketegasan.
Untuk mengatasi epidemi tembakau, bahaya merokok, atau wacana-wacana lain yang kerap dikampanyekan memang seharusnya pemerintah Indonesia tidak lagi mengadopsi hukum-hukum yatau perjanjian-perjanjian skala internasional karena resikonya lebih besar. FCTC pun dianggap sudah melenceng dari idealismenya karena kebijakan yang dibuat banyak masuk ke ranah perdagangan daripada kesehatan.
Sayangnya, kritik “melenceng dari idealisme” juga dilontarkan pada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia. Implementasi PP No.109 Tahun 2012 ternyata telah menyebabkan naiknya kuota impor tembakau dari 20 ribu ton menjadi 120 ribu ton.
Kenaikan ini sungguh sangat mengecewakan petani dalam negeri dan mengindikasikan bahwa pemerintah ternyata tidak mendukung kelangsungan pertanian tembakau dalam negeri. Selain itu, meskipun pemerintah mengambil kendali atas pengamanan produksi, distribusi, dan konsumsi tembakau, ternyata dalam prakteknya, tata-niaga (sistem jual-beli) tembakau dilempar sepenuhnya pada mekanisme pasar sehingga menyebabkan petani tembakau mengalami kesusahan akibat permainan harga oleh pengusaha dagang yang menguasai pasar.
Faktor eksternalnya antara lain adalah desakan dari rezim kesehatan dunia yang dimotori olehWHO-FCTC dengan berbagai programnya yang menuntut agar tiap negara anggota WHO menjadikan FCTC sebagai hukum nasionalnya masing-masing.
Dengan keterlibatan 172 negara dalam konvensi yang bernama FCTC ini jelaslah merupakan kekuatan politik yang amat besar. Mudah saja untuk menjadikan FCTC sebagai hukum internasional karena asalkan sudah ada 40 negara anggota WHO meratifikasi perjanjian FCTC, maka FCTC resmi menjadi hukum internasional. FCTC sendiri resmi menjadi hukum internasional atau perjanjian internasional sejak tahun 2005.
Posisi Indonesia hingga tahun 2013 adalah belum sebagai negara peserta (states parties) dari perjanjian FCTC karena pemerintah belum menandatangani dan meratifikasi perjanjian. Penulis mensinyalir, pemerintah mengalami dilema dalam mengambil keputusan.
Jika pemerintah memutuskan turut serta dalam perjanjian tersebut, besar kemungkinan akan terjadi demonstrasi di banyak wilayah di Indonesia, terutama oleh mereka menggantungkan hidupnya pada komoditas tembakau. Jika pemerintah memutuskan untuk tidak turut serta dalam perjanjian tersebut, maka besar kemungkinan akan mendapatkan kecaman dari negara-negara lain dan dari orang-orang Indonesia yang pro terhadap perjanjian FCTC.
Namun menurut penulis, sikap politik yang diambil pemerintah Indonesia sudah sangat bijaksana. Tidak menandatangai dan meratifikasi FCTC, kemudian mengeluarkan RPP pengendalian tembakau, lalu mengesahkan PP pengendalian tembakau, justru mencerminkan kemandirian dan ketegasan.
Untuk mengatasi epidemi tembakau, bahaya merokok, atau wacana-wacana lain yang kerap dikampanyekan memang seharusnya pemerintah Indonesia tidak lagi mengadopsi hukum-hukum yatau perjanjian-perjanjian skala internasional karena resikonya lebih besar. FCTC pun dianggap sudah melenceng dari idealismenya karena kebijakan yang dibuat banyak masuk ke ranah perdagangan daripada kesehatan.
Sayangnya, kritik “melenceng dari idealisme” juga dilontarkan pada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia. Implementasi PP No.109 Tahun 2012 ternyata telah menyebabkan naiknya kuota impor tembakau dari 20 ribu ton menjadi 120 ribu ton.
Kenaikan ini sungguh sangat mengecewakan petani dalam negeri dan mengindikasikan bahwa pemerintah ternyata tidak mendukung kelangsungan pertanian tembakau dalam negeri. Selain itu, meskipun pemerintah mengambil kendali atas pengamanan produksi, distribusi, dan konsumsi tembakau, ternyata dalam prakteknya, tata-niaga (sistem jual-beli) tembakau dilempar sepenuhnya pada mekanisme pasar sehingga menyebabkan petani tembakau mengalami kesusahan akibat permainan harga oleh pengusaha dagang yang menguasai pasar.
0 comments:
Post a Comment